Sejak
dipatahkannya teori geosentris yang mengatakan bahwa pusat tata surya adalah
bumi oleh teori heliosentris bahwa matahari adalah pusat tata surya dan
munculnya gagasan bahwa bumi bulat, mulailah beramai-ramai penjelajahan
dilakukan. Awalnya orang mengira bila melakukan perjalanan terus menerus akan
terjatuh bila sudah sampai di ujung bumi, karena mereka berpikir bumi itu datar
seperti koin. Penjelajahan pertama (1492) dimulai oleh bangsa Portugis dan Spanyol
atas perintah Ratu Issabella. Penjelajahan tersebut banyak menemukan daerah
baru yang sebelumnya belum pernah terjamah orang Eropa, seperti Benua Amerika.
Pelayaran tersebut kemudian diikuti juga oleh Inggris, Belanda, Perancis, dan
Jerman.
Dengan
semangat yang menggebu-gebu untuk mencari serta mendapatkan daerah baru maka
timbullah perkataan
imperialisme yang berasal dari kata Latin "imperare" yang
artinya "memerintah". Hak untuk memerintah (imperare) disebut "imperium".
Orang yang diberi hak itu (diberi imperium) disebut "imperator".
Yang lazimnya diberi imperium itu ialah raja, dan karena itu lambat-laun
raja disebut imperator dan kerajaannya (ialah daerah dimana imperiumnya
berlaku) disebut imperium. Pada zaman dahulu kebesaran seorang raja
diukur menurut luas daerahnya, maka raja suatu negara ingin selalu memperluas
kerajaannya dengan merebut negara-negara lain.
Indonesia terletak di posisi geografis antara
Benua Asia dan Eropa serta Samudra Pasifik dan Hindia, sebuah posisi yang
strategis dalam jalur pelayaran niaga antar benua. Salah satu jalan sutra,
yaitu jalur sutra laut, ialah dari Tiongkok dan Indonesia, melalui selat Malaka
ke India. Dari sini ada yang ke Teluk Persia, melalui Suriah ke Laut Tengah.
Ada yang ke Laut Merah melalui Mesir dan sampai juga ke Laut Tengah (Van Leur).
Perdagangan laut antara India, Tiongkok, dan Indonesia dimulai pada abad
pertama sesudah masehi, demikian juga hubungan Indonesia dengan daerah-daerah di
Barat.
Perdagangan di masa kerajaan-kerajaan tradisional disebut oleh Van Leur mempunyai sifat kapitalisme politik, dimana pengaruh raja-raja dalam perdagangan itu sangat besar. Misalnya di masa Sriwijaya, saat perdagangan internasional dari Asia Timur ke Asia Barat dan Eropa, mencapai zaman keemasannya. Raja-raja dan para bangsawan mendapatkan kekayaannya dari berbagai upeti dan pajak. Tak ada proteksi terhadap jenis produk tertentu, karena mereka justru diuntungkan oleh banyaknya kapal yang “mampir”.
Penggunaan uang yang berupa koin emas dan koin perak sudah dikenal di masa itu, namun pemakaian uang baru mulai dikenal di masa kerajaan-kerajaan Islam, misalnya picis yang terbuat dari timah di Cirebon. Namun penggunaan uang masih terbatas karena perdagangan barter banyak berlangsung dalam sistem perdagangan Internasional. Hal ini belum dikenalnya surplus atau defisit yang harus diimbangi dengan ekspor atau impor logam mulia. Kejayaan suatu negeri dinilai dari luasnya wilayah, penghasilan per tahun, dan ramainya pelabuhan. Hal itu disebabkan, kekuasaan dan kekayaan kerajaan-kerajaan di Sumatera bersumber dari perniagaan, sedangkan di Jawa, kedua hal itu bersumber dari pertanian dan perniagaan. Dimasa pra kolonial, pelayaran niagalah yang cenderung lebih dominan, namun dapat dikatakan bahwa di Indonesia secara keseluruhan, pertanian dan perniagaan sangat berpengaruh dalam perkembangan perekonomian Indonesia, bahkan hingga saat ini. Seusai masa kerajaan-kerajaan Islam, pembabakan perjalanan perekonomian Indonesia dapat dibagi dalam empat masa, yaitu masa sebelum kemerdekaan, orde lama, orde baru, dan masa reformasi.
Perdagangan di masa kerajaan-kerajaan tradisional disebut oleh Van Leur mempunyai sifat kapitalisme politik, dimana pengaruh raja-raja dalam perdagangan itu sangat besar. Misalnya di masa Sriwijaya, saat perdagangan internasional dari Asia Timur ke Asia Barat dan Eropa, mencapai zaman keemasannya. Raja-raja dan para bangsawan mendapatkan kekayaannya dari berbagai upeti dan pajak. Tak ada proteksi terhadap jenis produk tertentu, karena mereka justru diuntungkan oleh banyaknya kapal yang “mampir”.
Penggunaan uang yang berupa koin emas dan koin perak sudah dikenal di masa itu, namun pemakaian uang baru mulai dikenal di masa kerajaan-kerajaan Islam, misalnya picis yang terbuat dari timah di Cirebon. Namun penggunaan uang masih terbatas karena perdagangan barter banyak berlangsung dalam sistem perdagangan Internasional. Hal ini belum dikenalnya surplus atau defisit yang harus diimbangi dengan ekspor atau impor logam mulia. Kejayaan suatu negeri dinilai dari luasnya wilayah, penghasilan per tahun, dan ramainya pelabuhan. Hal itu disebabkan, kekuasaan dan kekayaan kerajaan-kerajaan di Sumatera bersumber dari perniagaan, sedangkan di Jawa, kedua hal itu bersumber dari pertanian dan perniagaan. Dimasa pra kolonial, pelayaran niagalah yang cenderung lebih dominan, namun dapat dikatakan bahwa di Indonesia secara keseluruhan, pertanian dan perniagaan sangat berpengaruh dalam perkembangan perekonomian Indonesia, bahkan hingga saat ini. Seusai masa kerajaan-kerajaan Islam, pembabakan perjalanan perekonomian Indonesia dapat dibagi dalam empat masa, yaitu masa sebelum kemerdekaan, orde lama, orde baru, dan masa reformasi.
Sebelum merdeka, Indonesia mengalami masa
penjajahan yang terbagi dalam beberapa periode. Ada empat negara yang pernah
menduduki Indonesia, yaitu Portugis, Belanda, Inggris, dan Jepang. Portugis
tidak meninggalkan jejak yang mendalam di Indonesia karena keburu diusir oleh
Belanda, tapi Belanda yang kemudian berkuasa selama sekitar 350 tahun, sudah
menerapkan berbagai sistem yang masih tersisa hingga kini. Untuk menganalisa
sejarah perekonomian Indonesia, rasanya perlu membagi masa pendudukan Belanda
menjadi beberapa periode, berdasarkan perubahan-perubahan kebijakan yang mereka
berlakukan di Hindia Belanda (sebutan untuk Indonesia saat itu).
A. Masa VOC
Vereenigde
Oost-Indische Compagnie (VOC)
Belanda yang saat itu menganut paham Merkantilis benar-benar menancapkan
kukunya di Hindia Belanda. Belanda melimpahkan wewenang untuk mengatur Hindia
Belanda kepada VOC (Vereenigde
Oost-Indische Compagnie), sebuah perusahaan yang didirikan dengan tujuan
untuk menghindari persaingan antar sesama pedagang Belanda, sekaligus untuk
menyaingi perusahaan imperialis lain seperti EIC (Inggris). Untuk mempermudah aksinya
di Hindia Belanda, VOC diberi hak Octrooi,
yang antara lain meliputi :
a).Hak mencetak uang
b).Hak mengangkat dan memberhentikan pegawai
c).Hak menyatakan perang dan damai
d).Hak untuk membuat angkatan bersenjata
sendiri
e).Hak untuk membuat perjanjian dengan
raja-raja
Hak-hak itu seakan melegalkan keberadaan VOC
sebagai “penguasa” Hindia Belanda. Namun walau demikian, tidak berarti bahwa
seluruh ekonomi Nusantara telah dikuasai VOC. Kenyataannya, sejak tahun 1620,
VOC hanya menguasai komoditi-komoditi ekspor sesuai permintaan pasar di Eropa,
yaitu rempah-rempah. Kota-kota dagang dan jalur-jalur pelayaran yang
dikuasainya adalah untuk menjamin monopoli atas komoditi itu. VOC juga belum
membangun sistem pasokan kebutuhan-kebutuhan hidup penduduk pribumi.
Peraturan-peraturan yang ditetapkan VOC seperti verplichte leverentie
(kewajiban meyerahkan hasil bumi pada VOC ) dan contingenten (pajak hasil bumi)
dirancang untuk mendukung monopoli itu. Disamping itu, VOC juga menjaga agar
harga rempah-rempah tetap tinggi, antara lain dengan diadakannya pembatasan
jumlah tanaman rempah-rempah yang boleh ditanam penduduk, pelayaran Hongi dan
hak extirpatie (pemusnahan tanaman yang jumlahnya melebihi peraturan). Semua
aturan itu pada umumnya hanya diterapkan di Maluku yang memang sudah diisolasi
oleh VOC dari pola pelayaran niaga samudera Hindia.
Dengan
memonopoli rempah-rempah, diharapkan VOC akan menambah isi kas negri Belanda,
dan dengan begitu akan meningkatkan pamor dan kekayaan Belanda. Disamping itu
juga diterapkan Preangerstelstel, yaitu kewajiban menanam tanaman kopi bagi
penduduk Priangan. Bahkan ekspor kopi di masa itu mencapai 85.300 metrik ton,
melebihi ekspor cengkeh yang Cuma 1.050 metrik ton. Namun, berlawanan dengan kebijakan
merkantilisme Perancis yang melarang ekspor logam mulia, Belanda justru
mengekspor perak ke Hindia Belanda untuk ditukar dengan hasil bumi. Karena
selama belum ada hasil produksi Eropa yang dapat ditawarkan sebagai komoditi
imbangan,ekspor perak itu tetap perlu dilakukan. Perak tetap digunakan dalam
jumlah besar sebagai alat perimbangan dalam neraca pembayaran sampai tahun
1870-an. Pada tahun 1795, VOC bubar karena dianggap gagal dalam mengeksplorasi
kekayaan Hindia Belanda. Kegagalan itu nampak pada defisitnya kas VOC, yang antara
lain disebabkan oleh :
a).Peperangan yang terus-menerus dilakukan oleh
VOC dan memakan biaya besar, terutama perang Diponegoro.
b).Penggunaan tentara sewaan membutuhkan biaya
besar.
c.)Korupsi yang dilakukan pegawai VOC sendiri.
d).Pembagian dividen kepada para pemegang
saham, walaupun kas defisit. Maka, VOC diambil-alih (digantikan) oleh Republik
Batavia (Bataafsche Republiek).
Republik Batavia dihadapkan pada suatu sistem
keuangan yang kacau balau. Selain karena peperangan sedang berkecamuk di Eropa
(Continental stelstel oleh Napoleon), kebobrokan bidang moneter sudah mencapai
puncaknya sebagai akibat ketergantungan akan impor perak dari Belanda di masa
VOC yang kini terhambat oleh blokade Inggris di Eropa. Sebelum republik Bataaf
mulai berbenah, Inggris mengambil alih pemerintahan di Hindia Belanda.
B. Masa
Pendudukan Inggris (1811-1816)
Inggris
berusaha merubah pola pajak hasil bumi yang telah hampir dua abad diterapkan
oleh Belanda, dengan menerapkan Landrent (pajak tanah). Sistem ini sudah berhasil
di India, dan Thomas Stamford Raffles mengira sistem ini akan berhasil juga di
Hindia Belanda. Selain itu, dengan landrent, maka penduduk pribumi akan
memiliki uang untuk membeli barang produk Inggris atau yang diimpor dari India.
Inilah imperialisme modern yang menjadikan tanah jajahan tidak sekedar untuk
dieksplorasi kekayaan alamnya, tapi juga menjadi daerah pemasaran produk dari
negara penjajah. Sesuai dengan teori-teori mazhab klasik yang saat itu sedang
berkembang di Eropa, antara lain :
a).Pendapat Adam Smith bahwa tenaga kerja
produktif adalah tenaga kerja yang menghasilkan benda konkrit dan dapat dinilai
pasar, sedang tenaga kerja tidak produktif menghasilkan jasa dimana tidak
menunjang pencapaian pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini, Inggris menginginkan
tanah jajahannya juga meningkat kemakmurannya, agar bisa membeli produk-produk
yang di Inggris dan India sudah surplus (melebihi permintaan).
b).Pendapat Adam Smith bahwa salah satu peranan
ekspor adalah memperluas pasar bagi produk yang dihasilkan (oleh Inggris) dan
peranan penduduk dalam menyerap hasil produksi.
c).The quantity theory of money bahwa kenaikan
maupun penurunan tingkat harga dipengaruhi oleh jumlah uang yang beredar. Akan
tetapi, perubahan yang cukup mendasar dalam perekonomian ini sulit dilakukan,
dan bahkan mengalami kegagalan di akhir kekuasaan Inggris yang cuma seumur
jagung di Hindia Belanda. Sebab-sebabnya antara lain :
Ø Masyarakat Hindia Belanda pada umumnya buta
huruf dan kurang mengenal uang,
apalagi untuk menghitung luas tanah yang kena pajak.
Ø Pegawai pengukur tanah dari Inggris sendiri
jumlahnya terlalu sedikit.
Ø Kebijakan ini kurang didukung raja-raja dan
para bangsawan, karena Inggris tak mau mengakui suksesi jabatan secara
turun-temurun.
C. Masa Cultuurstelstel
Cultuurstelstel
(sistem tanam paksa) mulai diberlakukan pada tahun 1836 atas inisiatif Van Den
Bosch. Tujuannya adalah untuk memproduksi berbagai komoditi yang ada
permintaannya di pasaran dunia. Sejak saat itu, diperintahkan pembudidayaan
produk-produk selain kopi dan rempah-rempah, yaitu gula, nila, tembakau, teh,
kina, karet, kelapa sawit, dll. Sistem ini jelas menekan penduduk pribumi, tapi
amat menguntungkan bagi Belanda, apalagi dipadukan dengan sistem konsinyasi
(monopoli ekspor). Setelah penerapan kedua sistem ini, seluruh kerugian akibat
perang dengan Napoleon di Belanda langsung tergantikan berkali lipat. Sistem
ini merupakan pengganti sistem landrent dalam rangka memperkenalkan penggunaan
uang pada masyarakat pribumi. Masyarakat diwajibkan menanam tanaman komoditas
ekspor dan menjual hasilnya ke gudang-gudang pemerintah untuk kemudian dibayar
dengan harga yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Cultuurstelstel melibatkan
para bangsawan dalam pengumpulannya, antara lain dengan memanfaatkan tatanan
politik Mataram--yaitu kewajiban rakyat untuk melakukan berbagai tugas dengan
tidak mendapat imbalan--dan memotivasi para pejabat Belanda dengan
cultuurprocenten (imbalan yang akan diterima sesuai dengan hasil produksi yang
masuk gudang).
Bagi
masyarakat pribumi, sudah tentu cultuurstelstel amat memeras keringat dan darah
mereka, apalagi aturan kerja rodi juga masih diberlakukan. Namun segi
positifnya adalah, mereka mulai mengenal tata cara menanam tanaman komoditas
ekspor yang pada umumnya bukan tanaman asli Indonesia, dan masuknya ekonomi
uang di pedesaan yang memicu meningkatnya taraf hidup mereka. Bagi pemerintah
Belanda, ini berarti bahwa masyarakat sudah bisa menyerap barang-barang impor
yang mereka datangkan ke Hindia Belanda. Dan ini juga merubah cara hidup
masyarakat pedesaan menjadi lebih komersial, tercermin dari meningkatnya jumlah
penduduk yang melakukan kegiatan ekonomi nonagraris. Jelasnya, dengan
menerapkan cultuurstelstel, pemerintah Belanda membuktikan teori sewa tanah
dari mazhab klasik, yaitu bahwa sewa tanah timbul dari keterbatasan kesuburan
tanah. Namun disini, pemerintah Belanda hanya menerima sewanya saja, tanpa
perlu mengeluarkan biaya untuk menggarap tanah yang kian lama kian besar. Biaya
yang kian besar itu meningkatkan penderitaan rakyat, sesuai teori nilai lebih
(Karl Marx), bahwa nilai leih ini meningkatkan kesejahteraan Belanda sebagai
kapitalis.
D. Masa Sistem Ekonomi Pintu Terbuka (Liberal)
Adanya desakan dari kaum Humanis Belanda yang
menginginkan perubahan nasib warga pribumi ke arah yang lebih baik, mendorong
pemerintah Hindia Belanda untuk mengubah kebijakan ekonominya. Dibuatlah
peraturan-peraturan agraria yang baru, yang antara lain mengatur tentang
penyewaan tanah pada pihak swasta untuk jangka 75 tahun, dan aturan tentang
tanah yang boleh disewakan dan yang tidak boleh. Hal ini nampaknya juga masih
tak lepas dari teori-teori mazhab klasik, antara lain terlihat pada :
a).Keberadaan pemerintah Hindia Belanda sebagai
tuan tanah, pihak swasta yang mengelola perkebunan swasta sebagai golongan
kapitalis, dan masyarakat pribumi sebagai buruh penggarap tanah.
b).Prinsip keuntungan absolut : Bila di suatu
tempat harga barang berada diatas ongkos tenaga kerja yang dibutuhkan, maka
pengusaha memperoleh laba yang besar dan mendorong mengalirnya faktor produksi
ke tempat tersebut.
c).Laissez faire laissez passer, perekonomian
diserahkan pada pihak swasta, walau jelas, pemerintah Belanda masih memegang
peran yang besar sebagai penjajah yang sesungguhnya.
Pada
akhirnya, sistem ini bukannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat pribumi,
tapi malah menambah penderitaan, terutama bagi para kuli kontrak yang pada umumnya
tidak diperlakukan layak.
JAS MERAH
(JANGAN
SEKALI-SEKALI MELUPAKAN SEJARAH)
Ir.Soekarno
REFERENSI :
Leririssa
R.Z, Ohorella G.A, Tangkilisan Yuda. 1996. Sejarah Perekonomian Indonesia. Departemen
Pendidikan dan Budaya: Jakarta.
Mustopo, M.Habib, dkk. 2005. Sejarah
3. Yudhistira: Jakarta.
Posting Blog Lady of
Apple Tree. Diunduh pada tanggal 13 November 2013, pukul 20.15, Sejarah Perekonomian Indonesia
0 Response to "SEJARAH MASUKNYA IMPERIALISME DI TANAH SURGA"
Post a Comment