BIOGRAFI
Tan Malaka atau Ibrahim gelar
Datuk Tan Malaka (lahir di Nagari Pandam Gadang, Suliki, Sumatera Barat,
2 Juni 1897 – meninggal
di Desa Selopanggung, Kediri, Jawa Timur,
21 Februari
1949 pada umur 51 tahun)[1])
adalah Bapak Republik Indonesia, seorang
aktivis pejuang kemerdekaan Indonesia, seorang pemimpin sosialis,
dan politisi
yang mendirikan Partai Murba. Pejuang yang militan, radikal, dan revolusioner
ini banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang berbobot dan berperan besar
dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih
maka ia dikenal sebagai tokoh revolusioner yang legendaris. Dia kukuh mengkritik
terhadap pemerintah kolonial Hindia-Belanda
maupun pemerintahan republik di bawah Soekarno
pasca-revolusi kemerdekaan Indonesia. Walaupun berpandangan sosialis, ia juga
sering terlibat konflik dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).17 agustus tahun
45.Tan
Malaka menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam pembuangan di luar Indonesia,
dan secara tak henti-hentinya terancam dengan penahanan oleh penguasa Belanda
dan sekutu-sekutu mereka. Walaupun secara jelas disingkirkan, Tan Malaka dapat
memainkan peran intelektual penting dalam membangun jaringan gerakan sosialis
internasional untuk gerakan anti penjajahan di Asia Tenggara. Ia dinyatakan
sebagai pahlawan nasional melalui Ketetapan Presiden RI No. 53 tanggal 23 Maret
1963. Tan
Malaka juga seorang pendiri partai PARI dan Murba, berasal dari Sarekat Islam
(SI) Jakarta dan Semarang. Ia dibesarkan dalam suasana semangatnya gerakan modernis
Islam Kaoem Moeda di Sumatera Barat. Tokoh ini diduga kuat sebagai orang di
belakang peristiwa penculikan Sutan Sjahrir
bulan Juni 1946 oleh sekelompok orang tak dikenal di Surakarta sebagai akibat
perbedaan pandangan perjuangan dalam menghadapi Belanda
PERJUANGAN
Pada
tahun 1921 Tan Malaka telah terjun ke dalam gelanggang politik. Dengan semangat
yang berkobar dari sebuah gubuk miskin, Tan Malaka banyak mengumpulkan
pemuda-pemuda komunis. Pemuda cerdas ini banyak juga berdiskusi dengan Semaun
(wakil ISDV) mengenai pergerakan revolusioner
dalam pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu juga merencanakan
suatu pengorganisasian dalam bentuk pendidikan bagi anggota-anggota PKI dan SI
(Sarekat Islam)
untuk menyusun suatu sistem tentang kursus-kursus kader serta ajaran-ajaran
komunis, gerakan-gerakan aksi komunis, keahlian berbicara, jurnalistik dan
keahlian memimpin rakyat. Namun pemerintahan Belanda melarang pembentukan
kursus-kursus semacam itu sehingga mengambil tindakan tegas bagi pesertanya. Melihat
hal itu Tan Malaka mempunyai niat untuk mendirikan sekolah-sekolah sebagai
anak-anak anggota SI untuk penciptaan kader-kader baru. Juga dengan alasan
pertama: memberi banyak jalan (kepada para murid) untuk mendapatkan mata
pencaharian di dunia kapitalis (berhitung, menulis, membaca, ilmu bumi, bahasa
Belanda, Melayu, Jawa dan lain-lain); kedua, memberikan kebebasan kepada murid
untuk mengikuti kegemaran mereka dalam bentuk perkumpulan-perkumpulan; ketiga,
untuk memperbaiki nasib kaum miskin. Untuk mendirikan sekolah itu, ruang rapat
SI Semarang diubah menjadi sekolah. Dan sekolah itu bertumbuh sangat cepat
hingga sekolah itu semakin lama semakin besar. Perjuangan
Tan Malaka tidaklah hanya sebatas pada usaha mencerdaskan rakyat Indonesia pada
saat itu, tapi juga pada gerakan-gerakan dalam melawan ketidakadilan seperti
yang dilakukan para buruh terhadap pemerintahan Hindia Belanda lewat VSTP dan aksi-aksi
pemogokan, disertai selebaran-selebaran sebagai alat propaganda yang ditujukan
kepada rakyat agar rakyat dapat melihat adanya ketidakadilan yang diterima oleh
kaum buruh. Seperti
dikatakan Tan Malaka pada pidatonya di depan para buruh “Semua gerakan buruh
untuk mengeluarkan suatu pemogokan umum sebagai pernyataan simpati, apabila
nanti menglami kegagalan maka pegawai yang akan diberhentikan akan didorongnya
untuk berjuang dengan gigih dalam pergerakan revolusioner”. Pergulatan Tan Malaka dengan partai komunis
di dunia sangatlah jelas. Ia tidak hanya mempunyai hak untuk memberi usul-usul
dan dan mengadakan kritik tetapi juga hak untuk mengucapkan vetonya atas
aksi-aksi yang dilakukan partai komunis di daerah kerjanya. Tan Malaka juga
harus mengadakan pengawasan supaya anggaran dasar, program dan taktik dari
Komintern (Komunis Internasional) dan Profintern seperti yang
telah ditentukan di kongres-kongres Moskwa diikuti oleh
kaum komunis dunia. Dengan demikian tanggung-jawabnya sebagai wakil Komintern
lebih berat dari keanggotaannya di PKI. Sebagai seorang pemimpin yang masih
sangat muda ia meletakkan tanggung jawab yang sangat berat pada pundaknya. Tan
Malaka dan sebagian kawan-kawannya memisahkan diri dan kemudian memutuskan
hubungan dengan PKI, Sardjono-Alimin-Musso.Pemberontakan
1926 yang direkayasa dari Keputusan Prambanan yang
berakibat bunuh diri bagi perjuangan nasional rakyat Indonesia melawan penjajah
waktu itu. Pemberontakan 1926 hanya merupakan gejolak kerusuhan dan keributan
kecil di beberapa daerah di Indonesia. Maka dengan mudah dalam waktu singkat
pihak penjajah Belanda dapat mengakhirinya. Akibatnya ribuan pejuang politik
ditangkap dan ditahan. Ada yang disiksa, ada yang dibunuh dan banyak yang
dibuang ke Boven Digoel, Irian Jaya. Peristiwa ini
dijadikan dalih oleh Belanda untuk menangkap, menahan dan membuang setiap orang
yang melawan mereka, sekalipun bukan PKI. Maka perjaungan nasional mendapat
pukulan yang sangat berat dan mengalami kemunduran besar serta lumpuh selama
bertahun-tahun. Tan
Malaka yang berada di luar negeri pada waktu itu, berkumpul dengan beberapa
temannya di Bangkok.
Di ibu kota Thailand
itu, bersama Soebakat dan Djamaludddin Tamin, Juni
1927 Tan Malaka memproklamasikan berdirinya Partai Republik
Indonesia (PARI). Dua tahun sebelumnya Tan Malaka telah menulis
"Menuju Republik Indonesia". Itu ditunjukkan kepada para
pejuang intelektual di Indonesia dan di negeri Belanda. Terbitnya buku itu
pertama kali di Kowloon,
Hong Kong,
April 1925.Prof.
Mohammad Yamin,
dalam karya tulisnya "Tan Malaka Bapak Republik Indonesia"
memberi komentar: "Tak ubahnya daripada Jefferson Washington merancangkan
Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai atau Rizal Bonifacio
meramalkan Philippina sebelum revolusi Philippina pecah"
MADILOG
Madilog merupakan istilah baru dalam cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu bukti serta mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Bukti adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme yang pokok dan pertama adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan penginderaan. Filsafat materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama. Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah bukti, walau belum dapat diterangkan secara rasional dan logika tapi jika fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum dapat menjelaskannya dan belum dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana. Semua karya Tan Malaka dan permasalahannya didasari oleh kondisi Indonesia. Terutama rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara serta kebudayaan, sejarah lalu diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalahnya. Cara tradisi nyata bangsa Indonesia dengan latar belakang sejarahnya bukanlah cara berpikir yang teoritis dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dia cetuskan sejak tahun 1925 lewat Naar de Republiek Indonesia. Jika membaca karya-karya Tan Malaka yang meliputi semua bidang kemasyarakatan, kenegaraan, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan sampai kemiliteran (Gerpolek-Gerilya-Politik dan Ekonomi, 1948), maka akan ditemukan benang putih keilmiahan dan ke-Indonesia-an serta benang merah kemandirian, sikap konsisten yang jelas dalam gagasan-gagasan serta perjuangannya.
Madilog merupakan istilah baru dalam cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu bukti serta mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Bukti adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme yang pokok dan pertama adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan penginderaan. Filsafat materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama. Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah bukti, walau belum dapat diterangkan secara rasional dan logika tapi jika fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum dapat menjelaskannya dan belum dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana. Semua karya Tan Malaka dan permasalahannya didasari oleh kondisi Indonesia. Terutama rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara serta kebudayaan, sejarah lalu diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalahnya. Cara tradisi nyata bangsa Indonesia dengan latar belakang sejarahnya bukanlah cara berpikir yang teoritis dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dia cetuskan sejak tahun 1925 lewat Naar de Republiek Indonesia. Jika membaca karya-karya Tan Malaka yang meliputi semua bidang kemasyarakatan, kenegaraan, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan sampai kemiliteran (Gerpolek-Gerilya-Politik dan Ekonomi, 1948), maka akan ditemukan benang putih keilmiahan dan ke-Indonesia-an serta benang merah kemandirian, sikap konsisten yang jelas dalam gagasan-gagasan serta perjuangannya.
REVOLUSI DAN NASIONALISME
Murbaisme adalah formula tepat bagi keyakinan politik Tan Malaka. Hal itu ditunjukkan ketika revolusi Indonesia bergolak Tan malaka tetap berpendapat, ini adalah revolusi nasional Indonesia dan tidak ada hubungannya dengan perlawanan terhadap facisme, seperti yang dipropagandakan oleh kaum komunis. Dalam konteks tersebut revolusi nasional dilihat semata-mata sebagai bentuk perlawanan terhadap imperialisme Belanda. Namun kaum komunis Indonesia tidak berdiri diatas itu, bagi mereka facisme jepang hanyalah merupakan satu tahap dari perkembangan kapitalisme, untuk itu facisme harus diperangi. Bagi Tan Malaka sikap facisme buta adalah bentuk ke-tidaknasionalisme-an. Bagi Tan Malaka revolusi Indonesia memiliki dua sisi, revolusi nasional adalah bingkainya dan revolusi sosial adalah isinya. Jadi revolusi Indonesia tidaklah berhenti pada revolusi politik semata-mata, naumn harus dilanjutkan dengan emansipasi social sebagai kelanjutan revolusi tersebut. Melaui MADILOGnya, bisa ditunjukkan bahwa Tan Malaka berusaha mensintesakan Marxisme dalam konteks ke-indonesia-an, dengan melacak akar-akar kebangsaan dan kebudayaan masyarakat untuk kemudian diselaraskan dengan keyakinan politiknya, yaitu Murbaisme. Murbaisme dengan demikian tidak sama dengan komunisme. Atau lebih enaknya dikatakan Marxis-Nasionalis. Beliau memiliki cirri khas dalam menuangkan ide-ide nasionalisme, yang membedakannya dengan tokoh-tokoh yang lain.dalam pemikirannya terdapat konvergensi anatara ideology Marxisme, yang sebenarnya bersifat internasionalis dan mengedepankan solidaritas kaum buruh sedunia, tanpa dibatasi rasa kebangsaan, dengan ideology nasionalisme yang memiliki cirri khas pada nation state. Disamping itu, dalam MADILOG ia juga memperlihatkan penghargaannya terhadap islam. Islam sangat mempengaruhi pola pikir dan perilakunya. Islam diakuinya sebagai obor penerang dalam hidupnya. Selanjutnya kalau ia dikatakan seorang komunis, tetapi mengapa ia begitu menekankan aspek persatuan diantara sesama warga bangsa apapun afiliasi politik maupun ideologinya, mengapa ia tidak berjuang untuk perjuangan kelas yang menjadi bagian penting dalam teori Marxis-Leninis. Dan yang lebih mencolok lagi adalah mengapa ia ber-Tuhan?, hal itu dibuktikannya ketika ibunya sakit, ia sempat berulang-ulang melantunkan bacaan surat yasin dalam al-qur’an. Tan Malaka telah membeberkan aspek-aspek baik secara histories, rasionalistis, dan dinamis. Sekiranya perlu kita meniilk kembali pemikirannya dan gagasannya. Dan stigma komunisme buta saya kira tidak lagi relevan kita jalankan mengingat kita sat ini memang benar-benar membutuhkan sumbangan pemikirannya. Dan yang paling penting bagi kita sebagai anak muda adalah membuka dan mengeksplor kembali pemikiran Tan Malaka kepada orang lain untuk didiskusikan. Karena dengan hal itu mungkin akan lebih baik dan implementatif dalam memecahkan persoalan-persoalan bangsa ini kedepan.
Murbaisme adalah formula tepat bagi keyakinan politik Tan Malaka. Hal itu ditunjukkan ketika revolusi Indonesia bergolak Tan malaka tetap berpendapat, ini adalah revolusi nasional Indonesia dan tidak ada hubungannya dengan perlawanan terhadap facisme, seperti yang dipropagandakan oleh kaum komunis. Dalam konteks tersebut revolusi nasional dilihat semata-mata sebagai bentuk perlawanan terhadap imperialisme Belanda. Namun kaum komunis Indonesia tidak berdiri diatas itu, bagi mereka facisme jepang hanyalah merupakan satu tahap dari perkembangan kapitalisme, untuk itu facisme harus diperangi. Bagi Tan Malaka sikap facisme buta adalah bentuk ke-tidaknasionalisme-an. Bagi Tan Malaka revolusi Indonesia memiliki dua sisi, revolusi nasional adalah bingkainya dan revolusi sosial adalah isinya. Jadi revolusi Indonesia tidaklah berhenti pada revolusi politik semata-mata, naumn harus dilanjutkan dengan emansipasi social sebagai kelanjutan revolusi tersebut. Melaui MADILOGnya, bisa ditunjukkan bahwa Tan Malaka berusaha mensintesakan Marxisme dalam konteks ke-indonesia-an, dengan melacak akar-akar kebangsaan dan kebudayaan masyarakat untuk kemudian diselaraskan dengan keyakinan politiknya, yaitu Murbaisme. Murbaisme dengan demikian tidak sama dengan komunisme. Atau lebih enaknya dikatakan Marxis-Nasionalis. Beliau memiliki cirri khas dalam menuangkan ide-ide nasionalisme, yang membedakannya dengan tokoh-tokoh yang lain.dalam pemikirannya terdapat konvergensi anatara ideology Marxisme, yang sebenarnya bersifat internasionalis dan mengedepankan solidaritas kaum buruh sedunia, tanpa dibatasi rasa kebangsaan, dengan ideology nasionalisme yang memiliki cirri khas pada nation state. Disamping itu, dalam MADILOG ia juga memperlihatkan penghargaannya terhadap islam. Islam sangat mempengaruhi pola pikir dan perilakunya. Islam diakuinya sebagai obor penerang dalam hidupnya. Selanjutnya kalau ia dikatakan seorang komunis, tetapi mengapa ia begitu menekankan aspek persatuan diantara sesama warga bangsa apapun afiliasi politik maupun ideologinya, mengapa ia tidak berjuang untuk perjuangan kelas yang menjadi bagian penting dalam teori Marxis-Leninis. Dan yang lebih mencolok lagi adalah mengapa ia ber-Tuhan?, hal itu dibuktikannya ketika ibunya sakit, ia sempat berulang-ulang melantunkan bacaan surat yasin dalam al-qur’an. Tan Malaka telah membeberkan aspek-aspek baik secara histories, rasionalistis, dan dinamis. Sekiranya perlu kita meniilk kembali pemikirannya dan gagasannya. Dan stigma komunisme buta saya kira tidak lagi relevan kita jalankan mengingat kita sat ini memang benar-benar membutuhkan sumbangan pemikirannya. Dan yang paling penting bagi kita sebagai anak muda adalah membuka dan mengeksplor kembali pemikiran Tan Malaka kepada orang lain untuk didiskusikan. Karena dengan hal itu mungkin akan lebih baik dan implementatif dalam memecahkan persoalan-persoalan bangsa ini kedepan.
PAHLAWAN
Peristiwa 3 Juli 1946 yang didahului dengan penangkapan dan penahanan Tan Malaka bersama pimpinan Persatuan Perjuangan, di dalam penjara tanpa pernah diadili selama dua setengah tahun. Setelah meletus pemberontakan FDR/PKI di Madiun, September 1948 dengan pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin, Tan Malaka dikeluarkan begitu saja dari penjara akibat peristiwa itu. Di luar, setelah mengevaluasi situasi yang amat parah bagi Republik Indonesia akibat Perjanjian Linggajati 1947 dan Renville 1948, yang merupakan buah dari hasil diplomasi Sutan Syahrir dan Perdana Menteri Amir Syarifuddin, Tan Malaka merintis pembentukan Partai MURBA, 7 November 1948 di Yogyakarta. Pada tahun 1949 tepatnya bulan Februari Tan Malaka hilang tak tentu rimbanya, mati tak tentu kuburnya di tengah-tengah perjuangan bersama Gerilya Pembela Proklamasi di Pethok, Kediri, Jawa Timur. Tapi akhirnya misteri tersebut terungkap juga dari penuturan Harry A. Poeze, seorang Sejarawan Belanda yang menyebutkan bahwa Tan Malaka ditembak mati pada tanggal 21 Februari 1949 atas perintah Letda Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya.Direktur Penerbitan Institut Kerajaan Belanda untuk Studi Karibia dan Asia Tenggara atau KITLV, Harry A Poeze kembali merilis hasil penelitiannya, bahwa Tan Malaka ditembak pasukan TNI di lereng Gunung Wilis, tepatnya di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri pada 21 Februari 1949. Namun berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Soekarno 28 Maret 1963 menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan kemerdekaan Nasional.
Peristiwa 3 Juli 1946 yang didahului dengan penangkapan dan penahanan Tan Malaka bersama pimpinan Persatuan Perjuangan, di dalam penjara tanpa pernah diadili selama dua setengah tahun. Setelah meletus pemberontakan FDR/PKI di Madiun, September 1948 dengan pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin, Tan Malaka dikeluarkan begitu saja dari penjara akibat peristiwa itu. Di luar, setelah mengevaluasi situasi yang amat parah bagi Republik Indonesia akibat Perjanjian Linggajati 1947 dan Renville 1948, yang merupakan buah dari hasil diplomasi Sutan Syahrir dan Perdana Menteri Amir Syarifuddin, Tan Malaka merintis pembentukan Partai MURBA, 7 November 1948 di Yogyakarta. Pada tahun 1949 tepatnya bulan Februari Tan Malaka hilang tak tentu rimbanya, mati tak tentu kuburnya di tengah-tengah perjuangan bersama Gerilya Pembela Proklamasi di Pethok, Kediri, Jawa Timur. Tapi akhirnya misteri tersebut terungkap juga dari penuturan Harry A. Poeze, seorang Sejarawan Belanda yang menyebutkan bahwa Tan Malaka ditembak mati pada tanggal 21 Februari 1949 atas perintah Letda Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya.Direktur Penerbitan Institut Kerajaan Belanda untuk Studi Karibia dan Asia Tenggara atau KITLV, Harry A Poeze kembali merilis hasil penelitiannya, bahwa Tan Malaka ditembak pasukan TNI di lereng Gunung Wilis, tepatnya di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri pada 21 Februari 1949. Namun berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Soekarno 28 Maret 1963 menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan kemerdekaan Nasional.
0 Response to "Tokoh Revolusioner Yang Terlupakan"
Post a Comment