Oleh: Harun Al Rasyid
Indonesia memiliki berbagai banyak unsur-unsur
kebudayaan, seperti berbagai macam bahasa, suku bangsa, agama atau kepercayaan,
adat istiadat, kesenian tradisional dan berbagai jenis mata pencaharian yang
membentang dari Sabang hingga Merauke serta Mingas sampai Pulau Rote. Oleh
karena itu Negara Indonesia sering disebut sebagai Negara Multikultural atau negara yang memiliki berbagai macam kebudayaan. Sesuai dengan data di atas bahwa kita adalah negara kepulauan terbesar
di dunia, harus kita akui bersama hal ini.
Secara
data antropologis, Indonesia terdiri dari 500 suku bangsa (ethnic group) dengan ciri-ciri bahasa dan kultur tersendiri. Bahkan
lebih uniknya lagi, setiap suku bangsa di Indonesia dapat dikatakan mempunyai
daerah asal, pengalaman sejarah dan nenek moyang tersendiri. Pada zaman kolonial Belanda, situasi
kesukubangsaan (ethnicity) ini
digambarkan oleh J.S. Furnival dengan istilah plural society atau ‘masyarakat majemuk’.[i]
Dalam definisi majemuk tersebut yang beraneka
ragam, ada beberapa kelompok masyarakat yang berbeda di tengah abad ini yang
sangat menonjolkan life style
ketimbang essensi, mementingkan prestise
dari pada moral. Pada abad ini juga diwarnai dengan perkembangan teknelogi yang
begitu pesat dan derasnya di semua kelompok masyarakat dari kalangan usia:
muda, remaja hingga orang tua yang telah menjadi konsumen produk yang bernama ‘modernitas’. Akan tetapi, berbeda
dengan kelompok masyarakat Suku Baduy Dalam yang terletak di kawasan
Desa Kanekes, Kecamatan
Leuwidamar, Kabupaten Lebak,
Provinsi
Banten.
Suku
Baduy Dalam memiliki pikukuh (hukum
adat) yang menjadi landasan dalam menjalani kehidupan sehari-hari yang harus
dipatuhi dan dijalani. Di mana dan pada situasi apa pun mereka selalu
menampilkan ciri khasnya yang sederhana, bicara ringkas, apa adanya jujur serta
menghindari konfrontasi dengan siapa pun. Refleksi yang mereka tampilkan bukan
mengada-ada atau semata-mata penampilan belaka, tetapi itu merupakan bentuk
kesungguhan sikap yang ditanamkan secara kuat dan terus-menerus pada setiap
anak cucu keturunan mereka melalui proses pendidikan yang panjang dan penanaman
serta keyakinan sikap tersebut dilakukan oleh para tokoh adat melalui bait-bait
pepatah yang ringkas, jelas, mudah dihafal, tetapi memiliki makna yang dalam.
Adapun pepatah atau dasa sila yang
mereka tanamkan yakni :[ii]
1.Moal megatkeun nyawa nu lian (tidak membinasa sesamanya)
2.Moal milbanda pangaboga nu lian (tidak mencuri, merampas)
3.Moal linyok moal bohong (tidak ingkar dan tidak menipu)
4.Moal mirucaan kana inuman nu matak mabok (tidak melibatkan diri pada minuman yang memabukkan)
5.Moal midua ati ka nu sejen (tidak menduakan hati kepada orang lain atau berpoligam
6.Moal barang dahar dina waktu nu kakurung ku peuting (tidak memakan setelah matahari sudah terbenam)
7.Moal make kekembangan jeung seuseungitan (tidak memakai bunga-bunga dan harum-haruman untuk menghias diri)
8.Moal ngageunah-geunah geusan sare (tidak melelapkan diri dalam bertidur)
9.Moal nyukakaeun ati ku igel gamelan kawih atawa tembang (tidak menyenagkan hati dengan tari tabuhan nyanyi atau senandung gembira yang bisa melupakan diri)
10.Moal make emas atawa salaka (tidak memakai emas permata yang bisa membuat orang lain sirik dan dengki).
1.Moal megatkeun nyawa nu lian (tidak membinasa sesamanya)
2.Moal milbanda pangaboga nu lian (tidak mencuri, merampas)
3.Moal linyok moal bohong (tidak ingkar dan tidak menipu)
4.Moal mirucaan kana inuman nu matak mabok (tidak melibatkan diri pada minuman yang memabukkan)
5.Moal midua ati ka nu sejen (tidak menduakan hati kepada orang lain atau berpoligam
6.Moal barang dahar dina waktu nu kakurung ku peuting (tidak memakan setelah matahari sudah terbenam)
7.Moal make kekembangan jeung seuseungitan (tidak memakai bunga-bunga dan harum-haruman untuk menghias diri)
8.Moal ngageunah-geunah geusan sare (tidak melelapkan diri dalam bertidur)
9.Moal nyukakaeun ati ku igel gamelan kawih atawa tembang (tidak menyenagkan hati dengan tari tabuhan nyanyi atau senandung gembira yang bisa melupakan diri)
10.Moal make emas atawa salaka (tidak memakai emas permata yang bisa membuat orang lain sirik dan dengki).
Dasar
inilah yang melekat pada dirinya kuat dan rapat dalam genggaman, menyatu pada
jiwa menjelma dalam perbuatan. Mengalir darah keyakinan yang meletak watak dan
tabiat dari kehidupan sehari-hari. Perlu diketahui selain dasa sila menjadi pedoman prinsip serta keyakinan Suku Baduy Dalam,
ada beberapa larangan yang tidak tertulis yakni namun diyakini dan disepakati
oleh Suku Baduy Dalam yakni dilarangnya
menggunakan alat-alat komunikasi, mengunakan pasta gigi, mengunakan
sabun mandi, tidak boleh adanya listrik.
Di dalam tata kehidupannya, Masyarakat
Baduy Dalam lebih memperhatikan kepada kepentingan umum, untuk menunjang
kelangsungan masa depan generasinya, dari pada kepentingan pribadi. Hal ini
seperti terlihat di dalam upayanya yang berprinsip dengan pola hidup sederhana
dan seadanya. Kerja keras dengan tidak pernah meluangkan waktu setidaknya,
sudah menjadi kebiasaan yang mendarah daging. Sejak fajar samapai matahari
terbenam, terus bergelut membanting tulang dengan usahanya, melawan kerasnya
alam dan ganasnya modernisasi untuk mempertahankan hukum adat yang mereka
percayai dari leluhur mereka disamping untuk mendapatkan nafkah kebutuhan
sehari-hari.
Dalam mencapai kesejahteraan hidup, suami
maupun isteri punya kewajiban yang sama, berat sama dipikul, ringan sama
dijinjing. Pedoman hidupnya pada pola hidup sederhana di dalam membangun
keluarga, masyarakat dan lingkungannya untuk tetap lestari dan
berkesinambungan. Pangan, sandang dan papan merupakan kebutuhan yang paling
diutamakan, di dalam menciptakan suasana yang tenang, damai, tentram dan
harmonis.[iii]
Bila merujuk pemaparan di atas
terkait deskripsi singkat tentang Suku Baduy Dalam, ada kertarikan untuk
mendalami sebagai sarana pariwisata yang bernilai edukasi. Suku Baduy Dalam
yang berpegang teguh pada prinsip pikukuh
(hukum adat) memiliki identitas tersendiri, yakni melawan kemewahan untuk hidup
sederhana, menjunjung nilai-nilai yang berlaku dan hidup dengan alam sekitar
menjadi ujung tombak untuk memenuhi kebutuhan hidup sekaligus menjaga
kelestarian hutan lindung yang dianggap suci bagi Suku Baduy Dalam. Bagi ingin
yang berkunjung ke sana, disarankan untuk memakai jaket dan sepatu trekking
sebab disana udaranya sangat dingin dan jalan untuk memasuki kawasan Baduy
Dalam terjal dan bebatuan. Ditambah lagi mematuhi hukum adat yang berlaku agar
kita menghormati perasaan orang Baduy Dalam yang masih memegang teguh warisan
tanah leluhurnya.
(Patung
petani yang melambangkan Suku Baduy Dalam bermata pencarian sebagai petani,
Ciboleger)
(Jembatan
Gajeboh yang tidak menggunakan paku hanya diikat dengan serat, Baduy Luar)
(Warga
Baduy Dalam dengan pakaian yang sederhana sebagai identitas yang masih memegah
teguh hukum adat)
[i]
Amri Marzali. 2005. Antropologi dan Pembangunan Indonesia.
Jakarta: Prenada Media. Hlm. 227.
[ii]
Berdasarkan wawancara Ayah
Mursid, selaku Wakil Jaro Tangtu Cibeo pada tanggal 3 Januari 2014.
[iii] Hasil observasi di Baduy Dalam
yakni Cibeo, Cikeusik dan Ciketawarna pada tanggal 2-5 Januari 2014.
0 Response to "WARNA-WARNI BUDAYA INDONESIA; MENGENAL SUKU BADUY DALAM SEBAGAI SARANA PARIWISATA BERNILAI EDUKASI "
Post a Comment